MAKALAH
ILMU SOSIAL DASAR
“KONFLIK SOSIAL PAPUA ”
Oleh :
AULIA BUDIMAN (NPM
:11315143)
KELAS : 1TA03
JURUSAN TEKNIK
SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
SIPIL DAN PERNCANAAN
UNIVERSITAS
GUNADARMA
TAHUN 2015
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................................i
Daftar
Isi....................................................................................................................................ii
BAB
I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar
Belakang....................................................................................................................1
1.2 Rumusan
masalah...............................................................................................................1
1.3 Tujuan.................................................................................................................................2
BAB
II PEMBAHASAN.........................................................................................................2
2.1 penyebab konflik sosial Papua ...........................................................................................3
2.2
Sejarah konflik
Papua.........................................................................................................4
2.3Solusi konflik
Papua............................................................................................................5
BAB
III
PENUTUP..................................................................................................................12
3.1
Kesimpulan.........................................................................................................................11
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................................12
Ii
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi ALLAH SWT yang telah memberika rahmat dan karunia-NYA yang senantiasa
memberikan kemudahan dalam meyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak
luput bantuan dari beberapa pihak juga yaitu saya berterimakasih kepada orang
tua yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan, kepada dosen saya Bapak
Emilianshah Banowo selaku dosen “Ilmu Sosial Dasar” yang telah memberikan
motivasi dan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan makalah ini. Adapun
makalah ini berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan tema dan judul
makalah ini yaitu “Konflik Sosial Papua”. Harapankami,makalah dapat memberi tuntunan
konsep yang praktis bagi mereka,baik praktisi maupun teman-teman mahasiswa dalam
memahami tentang vector,kamimenya dari,ini maupun cara penyampaian makalah ini masih
jauh dari sempurna . untuk itu kami bisa mengembangkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata
semoga makalah ini dapat member manfaat bagi kita semua.
Depok, 17 November 2015
penulis
I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Papua adalah
sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan
timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.
Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi
menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua
sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua
memiliki luas 808.105 KM persegi dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia dan
pulau terbesar pertama di Indonesia.
Pulau Papua
memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari
wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan
strategis, dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau
Papua. Kabupaten Puncak Jaya
merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang terendah adalah
kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua memiliki
kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis
yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata.
Pada tahun 1990 penduduk di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat
menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada tahun 2006.
Belakang
Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar
warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang
asli Papua telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum
diatasi secara tuntas. Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh
adanya tuntutan Merdeka dan Referendum, serta terjadinya pengibaran bendera
bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian Undang-undang No. 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Konflik yang belum
diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua,
orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI.
Disatu pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan
separatis. Adanya stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang
Papua juga tidak mempercayai Pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan
ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialog konstruktif tidak pernah akan
terjadi antara Pemerintah dan orang Papua.
1
Apabila berbagai masalah yang
melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua tetap
menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya
akan menghambat proses
pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua.
Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik,
Islam, Hindudan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye
ini dilakukandengan dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD).
Dalam
perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan Papua Tanah Damai
sebagai suatu visi bersama dari masa depan Tanah Papua yang perlu diperjuangkan
secara bersama oleh setiap orang yang hidup di Tanah Papua. Sekalipun diakui
oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari setiap orang,
termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan memperlihatkan bahwa
banyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri dalam upaya menciptakan
perdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang tinggal di kota maupun
di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam kampanye perdamaian ini.
Pada hal mereka sebagai pemilik negeri ini sudah semestinya memimpin atau
minimal terlibat dalam berbagai upaya untuk mewujudkan perdamaian di tanah
leluhurnya. Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara
aktif dalam upaya menciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui
tanah leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya
menikmat suatu kehidupan yang penuh kedamaian.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
` 1.Bagaimana sejarah konflik sosial Papua?
2.Apakah penyebab konflik sosial di Papua?
3. Bagaimana solusi konflik papua?
1.3 TUJUAN
1.Untuk mengetahui bagaimana dinamika masyarakat Papua.
2.Untuk mengetahui apa penyebab konflik sosial di
Papua.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENYEBAB
KONFLIK SOSIAL PAPUA
Menurut tim
Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi sumber konflik Papua ke
dalam empat isu Utama:
Pertama, sejarah
integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik papua di
dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia
dan nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda
ke Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan
status politik Papua telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di
terimanya hasil penentuan tersebut oleh majelis umum sidang PBB.
Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969 itu sendiri terjadi
banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk
dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada insiden 1
desmber 1961.
Kedua,problem
kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem ini muncul
sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah harga mati dan
gagasan memisahkan diri merupakan tindakan melawan hukum yang di
kemudian di identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di
artikan dengan menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri
perbedaan. Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak
asasinya akibat pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM).
Negara seharusnya hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul
sebagai sosok yang berwajah sangar.
Ketiga, adalah
problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di jadikan salah satu isu
utama yang menjadi akar konflik di Papua di karenahkan adanya ketimpangan
yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan daerah
lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran
yang di lakukan terhadap kekayaan alam Papua adalah beberapa hal yang
menjadikan pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya,
data menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di lakukan di erah
sebelum dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini di perparah
dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli
dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
3
Terakhir, persoalan
marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga
telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di
Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi,
sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan
dengan kegiatan separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di erah
orde baru, orang Papua tercatat beberapa kali
menduduki jabatan gubernur.
2.2 SEJARAH
KONFLIK PAPUA
Ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia
mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua.
Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi
Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda
kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka
selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah
Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara
Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan
dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia
tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju
bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun. Pada
bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka
sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua Barat
sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa
kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua
Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi
angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957.
Sebagai
kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota
di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal
Abidin Syah. Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan
penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960,
Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan
Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak
menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
4
Bendera
Papua’Barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua Merdeka Karena
usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi,
arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai
kehutanan, dan pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari
tahun 1950 sampai 1961. Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk
memilih perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9
Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih,
23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel
pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini
dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda dan
Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak. Dewan Papua bertemu pada
tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan,
bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan (”Hai Tanahkoe Papua”),
dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan
untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur
Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18
November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1
Desember 1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapi’pembentukan Dewan
Papua ini dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta, yang isinya adalah:
1.
Gagalkan
pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2.
Kibarkan
Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
2.3SOLUSI
KONFLIK PAPUA
Hingga saat
ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut Wakil Ketua
Komisi I DPR TB Hassanudin, melihat data tindakan kekerasan yang terjadi dalam
18 bulan terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota di
wilayah Papua.Menurut Ben Mboi, mantan tentara yang pernah ikut upaya
pembebasan Irian barat, pemerintah belum mengutamakan nation building.
Selama ini pemerintah hanya mengembangkan state building yang hanya
sebatas teritorial, bukan membangun manusianya. Maka dari itu, pengembangan state
building erat kaitannya dengan motif ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam
perspektif tersendiri, menjadi salah satu alasan utama konflik di Papua. Untuk
itu, saya ingin menganalogikan konflik Papua dengan
peristiwa Quiet Revolution di Kanada (1960-1966).
5
1.
Belajar dari
Quebec
Quiet Revolution dikenal sebagai
periode yang konfliktual sejarah Kanada, dimana periode ini menandai
kebangkitan separatisme Quebec. Namun, salah satu hal menarik yang bisa
dipelajari dari kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang konfliktual
antara pemerintah federal dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya konstruksi
nasionalisme Quebecois tersebutlah, konsep koeksistensi masyarakat keturunan
Inggris dan masyarakat keturunan Perancis mendapatkan tempatnya di Kanada. Untuk
menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di Quebec, PM Kanada
kala itu, Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages Act yang secara
resmi membuat Kanada menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya Official
Language Act menunjukkan bahwa pemerintah Kanada tidak lagi mendiskriminasikan,
mengabaikan, atau menutup mata terhadap keluhan warga Quebecois. Kondisi
ekonomi pun semakin membaik karena perdagangan mulai berjalan seimbang dan
adil. Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di dalam sebuah negara
demokratis yang menolak penggunaan kekuatan militer sebagai jalan cepat
penyelesaian konflik separatisme, negosiasi dan debat konstitusi merupakan
jalan yang paling legal dan akomodatif. Dalam konteks separatisme di Quebec,
pemerintah federal memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga Quebec untuk
berdebat dan mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai bagian dari upaya
mereka menentukan arah masa depan negara.
2.
Pendekatan
Keamanan vs Kesejahteraan
Pemerintah Kanada percaya bahwa
kebebasan berwacana tidak perlu dibatasi, dan bahwa tindakan inkonstitusional
seperti separatisme seharusnya dikelola dan dibatasi oleh jaring konstitusi,
melalui upaya-upaya negosiasi. Akan tetapi, pendekatan kekerasan dan stigma
terhadap orang Papua yang diangggap bodoh dan separatis, yang dipraktekkan
pemerintah kita, justru membuat warga merasa tak diterima. Pendekatan
militeristiklah yang membuat orang Papua berpikir untuk merdeka, setidaknya itu
ungkapan Ketua Sinode Kingmi Benny Giay.Penulis menganggap masalah yang timbul
di Papua adalah akibat inkonsistensi pemerintah dalam pelaksanaan otonomi
khusus. Kebijakan yang ada tidaklah mampu mengakomodasi kepentingan warga
Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap mereka. Pemerintah federal
Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut representasi warga keturunan
Inggris, telah berhasil menjalankan kewajibannya untuk menjamin kesetaraan bagi
warga keturunan Perancis, sedangkan, pemerintah kita cenderung mengutamakan
pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan.
6
Fakta berbicara bahwa pemerintah
pusat mengalokasikan sebesar 15 persen dari dana nasional untuk dana alokasi
Papua. Ini pun belum termasuk dana tambahan yang jumlahnya ditetapkan DPR atas
usulan dari Gubernur. Ditambah dengan dana Otsus yang setiap lima tahun
mencapai 30 triliun, harusnya pembangunan Papua sudah sangat terjamin. Dengan
dana sebesar itu, kalau memang masih ada konflik berarti ada salah urus
kebijakan di Papua, dan hal itu wajib diselidiki KPK, maupun pihak-pihak
terkait.
Pijakan pembangunan yang terlalu
berpihak kepada pendatang dan secara otomatis menyingkirkan eksistensi orang
asli, harus dihilangkan. Semua kalangan harus mendapat akses ekonomi yang equal.
Selain itu, kehadiran aparat memang penting, akan tetapi harus didampingi oleh
orang-orang yang paham metode-metode penyelesaian konflik. Pembangunan yang
dikawal dengan aparat yang represif berpotensi menimbulkan benih bertumbuhnya
nasionalisme Papua. Dan kondisi seperti ini harus direduksir dari hulu.
Tidak ada salahnya kita belajar dari
bagaimana pemerintah Kanada berhasil meredam separatisme di wilayah mereka.
Walau memang, hasilnya belum mampu menekan secara total kelompok separatisme di
Quebec, namun para pendukung gerakan ini semakin berkurang junlahnya di setiap
pemilu. Oleh karena itu, manajemen konflik pemerintah kanada dalam
menyelesaikan konflik ini seringkali dipandang dunia sebagai sebuah model
demokrasi konsesional yang paling berhasil dalam kasus pengelolaan konflik
interkultural dalam sebuah negara.
Terakhir, kedamaian dan keadilan di
Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog tidak akan mengambil nyawa
siapapun, malah akan bermuara pada kesejahteraan. Dialog hanya menakutkan bagi
mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari kekacauan, kekerasan,
ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang anti dialog adalah
orang-orang yang menjadikan kekerasan dan ketidakadilan sebagai sumber mata
pencaharian dan kekuasaan yang biasanya mengatasnamakan bangsa dan negara atau
mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan mengatasnamakan suku atau agama.
Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai Papua (JDP) berpendapat bahwa solusi
konflik papua yaitu :
7
·
Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik
Papua
Sejak Papua
bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah mengeluarkan
sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik PapuaPada masa Orde Baru,
pemerintah berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan keamanan
dengan mengedepankan militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi, pemerintah
mengutamakan pendekatan kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan
kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan Papua merdeka.
Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001 melalui UU Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan bahwa konflik
Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU Otsus
secara efektif dan konsisten. Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan
kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14
kabupaten baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21
Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya
Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini
memicu perang suku di Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya
Tengah. Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat
pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan
Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat. Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B). Untuk melaksanakan
Perpres ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66
Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014. Pada 17
Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan
dan peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di kedua
provinsi ini. Seraya mengakui dampak positif yang dialami orang Papua,
kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam konflik Papua. Terbukti konflik
Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun
personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan bertambah.
8
Pertanyaan
yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah mengedepankan pendekatan
kesejahteraan, memberikan status otsus, mengucurkan dana triliunan rupiah,
membagi Papua menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah kabupaten, dan
mempercepat pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum berhasil
menyelesaikan konflik Papua?
·
Solusi Komprehensif
Penyebab
utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui
kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang
komprehensif. Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi.
Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua
menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan bidang
ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur dasar. Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua
mengandung masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui
dirinya sebagai orang Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi
pemerintah dan setiap Presiden Indonesia.
Ada juga
persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada perbedaan
penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua juga merupakan
satu-satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, konflik Papua mempunyai dimensi ekonomi,
politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena itu, solusi
parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan
multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang
mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan. Pemerintah tidak
boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik
Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik
Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak
lain. Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus
merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi
yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Secara
khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung
dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun
kebijakan pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak
berkonsultasi dengan kelompok OPM.
9
OPM terdiri
atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan perlawanan di kota dan
kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara Pembebasan
Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar negeri.
Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang
komprehensif. Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi,
dan merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi
penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif
untuk Papua dicari dan ditetapkan secara bersama, serta diterima semua pemangku
kepentingan, termasuk kelom
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bias dimengerti bahwa konflik social papua merupakan peristiwa
yang sangat kompleks.
Baik dimensi sejarah, penyebab, maupun solusi. Namun bukan berarti komplesiksisitas konflik social papua harus mengurungkan niat pemerintah untuk bersikap apatis terhadap konflik yang terjadi di Papua. Diatas telah dijelaskan
pula bagaimana solusi terhadap konflik
social papua, yang mana solusi-solusi yang ditawarkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengakhiri konflik papua sehingga masyarakat papua bisa merasakan perdamaian
di tanahnya.
11
DAFTAR
PUSTAKA
ü Jerry Indrawan, Solusi Konflik
Papua : Belajar Dari Kanada, ...., diakses pada tanggal 24 Oktober 2014
12