Rabu, 16 Desember 2015

My Story.Aulia

My Story

Sekarang saya sudah masuk di bangku perkuliahan dan alhamdulillah bisa mendapatkan kampus GUNADARMA. Meskipun saya sudah berusaha untuk mendapatkan perguruan tinggi negri (PTN) tapi saya selalu ditolak terus sehingga saya memilih masuk ke perguruan tinggi swasta (PTS). Saya memilih gunadarma karna gunadarma sudah masuk pts yang sudah sangat favorit di kalangan umum dan memiliki akriditasi yang bangus yaitu A. Selain itu saya memilih gundar karna saya dapet potongan harga sehingga lebih murah untuk biaya persemesternya.
Saya di gunadarma mengambil fakultas teknik sipil dan perencanaan (FTSP) dan saya mengambil jurusan teknik sipil. Saya mengambil teknik sipil karna kemauan saya sendiri tanpa di suruh oleh orang tua dan saya juga sudah mempunyai tujuan untuk masa depan saya juga, selain itu saya mengambil teknik sipil karna saya tidak begitu menyukai pelajaran kimia yang menurut saya bikin membingungkan dari tahap awal sampai tahap akhirnya.

Alhamdulillah saya sudah masuk dan menjadi mahasiswa gundar. Awal masuk gundar waktu itu namanya kuliah perdana jadi di suatu ruangan kita mahasiswa hanya mendengarkan saja apa yang di sampaikan oleh dosen yang ada di depan untuk menjelaskan apa itu sipil, nanti bekerjanya di bidang apa, dan pekerjaannya itu seperti apa. Sehingga membuat saya semakin menarik untuk lebih mendalam lagi di teknik sipil, tapi saya sampai akhir acara juga belum mendapatkan teman akrab. Sampai masuk juga di ppspt baru saya bisa menemukan banyak teman yang akrab dan asik – asik, mungkin waktu itu saya belum menemukan teman karna dengan waktu yang sangat singkat dan masih rada malu – malu orang – orangnya. Awalnya saya berfikir di teknik sipil anaknya kalem - kalem, pinter – pinter dan pendiam semuanya, tapi semua fikiran saya itu musnah seketika ketika saya mendapatkan kelas ita 03. Awalnya sih saya ingin merubah sikap saya yang waktu di sma waktu itu tapi nampaknya susah juga untuk meninggalkan sikap saya yang dulu di sma dan dengan kondisi kelas yang berputar terbalik 90 derajat dengan apa yang saya fikirkan. Tapi sisi baiknya sih kelas saya tuh asik banget dan orang – orangnya juga mempunyai solidaritas yang sangat tinggi sekali sehingga membuat kelas menjadi seperti keluarga bagi saya. Menjadi mahasiswa itu sangat asik dan enak sekali beda sekali dengan sma. Saya pun juga mempunyai teman dari sabang sampai marauke, jadi kadang – kadang teman saya bicara dengan bahasa daerahnya masing – masing sehingga bikin seru – seruan dan bikin lucu aja

Turnamen Futsal.Aulia

TURNAMEN FUTSAL

Awal saya masuk gundar saya berfikir orang – orangnya pada ga bisa untuk bermain futsal. Dari gayanya, cara bicaranya dan penampilanya sehingga saya berfikir kelas saya kurang jago untuk bermain futsal. Pada suatu hari kelas saya mulai untuk bermain futsal perdana yaitu di tempat futsal deket kampus, tak saya sangka ternyata rata – rata orangnya pada bisa bermain futsal semua, bahkan menurut saya orangnya jago semua untuk memainkan si kulit bundar. Sehingga saya mendapatkan ilmu bahwa jangan menilai orang dari luarnya aja tapi kita juga harus melihat dari dalamnya juga.
Saya berfikir jika kelas kita ikut turnamen futsal saya merasa tidak akan terpilih masuk dalam sekuat tim utama karna saya merasa kalah saing dengan teman – teman yang ada di kelas saya ini. Tapi dengan keseringnya bermain futsal akhirnya bisa mendapatkan khemistri yang lumayan bagus. Sehingga pada suatu hari sehabis saya bermain futsal dengan kelas saya, kelas saya di tawarkan untuk ikut turnamen futsal yaitu namanya CIGIT akhirnya setelah berdiskusi begitu lama akhirnya kelas saya menyetujui untuk mengikuti turnamen tersebut tapi yang jadi permasalahannya yaitu siapa aja yang ke pilih jadi pemain dalam tim sekuad utama untuk membawa nama kelas mengikuti turnamen cigit tersebut, karna dengan banyak anak murid cowo kelas saya semuanya itu jago untuk bisa bermain futsal. Akhirnya dengan kompromi dan kesepakatan bersama akhirnya di adakan foting untuk memilih siapa saja yang akan terpilih masuk sekuad utama untuk membawa tim ikut turnamen dan pasti saya tidak akan terpilih untuk masuk ke dalam 10 orang tersebut karna saingannya sungguh berat dari ujung – ujung indonesia yakni dari sabang sampai marauke.
Waktu pegumpulan suara pun selesai dan saya sangat terkejut bahwa nama saya terpilih ke dalam sekuad utama tim untuk mengikuti turnamen cigit, dan dengan terpilihnya 10 orang yang mengikuti turnamen termasuk saya  yang alhamdulillah terpilih masuk ke dalam skuat utama.
Turnamen akhirnya di adakan dengan sistem grup jadi tidak langsung gugur dan mengumpulkan poin sebanyak banyaknya dan satu group terdapat 4 tim. Saya sendiri sih tidak begitu mengharapkan untuk menjadi juara 1 tapi saya mengharapkan tim setidaknya bisa mendapatkan poin setidaknya 3 poin atau setidaknya bisa lolos fase group dan bisa lolos ke fase berikutnya.

Pertandingan pertama di hari pertama pun berlangsung sangat seru dan dengan semangat yang membara sehingnya pertandingan pertama tim saya berhasil menang dan berhasil pula mendapatkan 3 point. Pada pertandingan ke dua di ke esokan harinya jika seandainya tim saya bisa menang atau pun seri tim bisa lolos untuk masuk ke fase berikutnya. Tapi keberuntungan tidak memihak tim saya harus kalah beda satu saja, bahkan pertandingan berjalan sangat seru dan saling balap – balapan skor. Tapi tim saya pun masih tidak begitu menyerah dengan keadaan yang ada. Pertandingan ke tiga berlangsung pada sore harinya setidaknya jika saya berhasil seri atau pun menang tim saya bisa lolos ke babak berikutnya tapi setelah pertandingan usai tim saya malah kalah dan tidak berhasil lolos group dan masuk ke fase berikutnya. Meskipun rasa kecewa pasti ada setidaknya tim kelas saya sudah mencoba dengan sekuat tenaga yang ada masalah menang atau pun kalah sudah memang ada di dalam pertandingan seperti ini tinggal bagai mana tim kelas bermain dengan sungguh – sungguh dan lebih giat lagi untuk bisa terjalin khemistri yang bagus lagi. Keinginan saya meskipun tidak lolos fase group setidaknya bisa berhasil mendapatkan 3 point dan berhasil di posisi ke tiga itu sudah membuat saya lumayan senang karna dengan adanya tim ini yang terbentuk gak sampe 3 bulan sudah lumayan terjalin khemistri yang cukup bagus di kalangan maba.

Selasa, 01 Desember 2015

KONFLIK SOSIAL PAPUA


MAKALAH
ILMU SOSIAL DASAR
KONFLIK SOSIAL PAPUA ”














Oleh :
AULIA BUDIMAN (NPM :11315143)
KELAS : 1TA03











JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERNCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN 2015


DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1     Latar Belakang....................................................................................................................1
1.2     Rumusan masalah...............................................................................................................1
1.3     Tujuan.................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................2
2.1 penyebab konflik sosial Papua ...........................................................................................3
2.2 Sejarah konflik Papua.........................................................................................................4
2.3Solusi konflik Papua............................................................................................................5
BAB III PENUTUP..................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................12









Ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah memberika rahmat dan karunia-NYA yang senantiasa memberikan kemudahan dalam meyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak luput bantuan dari beberapa pihak juga yaitu saya berterimakasih kepada orang tua yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan, kepada dosen saya Bapak Emilianshah Banowo selaku dosen “Ilmu Sosial Dasar” yang telah memberikan motivasi dan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan makalah ini. Adapun makalah ini berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan tema dan judul makalah ini yaitu “Konflik Sosial Papua”. Harapankami,makalah dapat memberi tuntunan konsep yang praktis bagi mereka,baik praktisi maupun teman-teman mahasiswa dalam memahami tentang vector,kamimenya dari,ini maupun cara penyampaian makalah ini masih jauh dari sempurna . untuk itu kami bisa mengembangkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat member manfaat bagi kita semua.
Depok, 17 November 2015

penulis












I

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas 808.105 KM persegi dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia dan pulau terbesar pertama di Indonesia.
Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis, dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau Papua. Kabupaten Puncak Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada tahun 2006.
Belakang Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum, serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Konflik yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua, orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai Pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialog konstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua.
1

Apabila berbagai masalah yang melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan menghambat proses
 pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD).
Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan Papua Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan Tanah Papua yang perlu diperjuangkan secara bersama oleh setiap orang yang hidup di Tanah Papua. Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari setiap orang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri dalam upaya menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam kampanye perdamaian ini. Pada hal mereka sebagai pemilik negeri ini sudah semestinya memimpin atau minimal terlibat dalam berbagai upaya untuk mewujudkan perdamaian di tanah leluhurnya. Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya menciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui tanah leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yang penuh kedamaian.

1.2 RUMUSAN MASALAH
`     1.Bagaimana sejarah konflik sosial Papua?
2.Apakah penyebab konflik sosial di Papua?
3.  Bagaimana solusi konflik papua?

1.3 TUJUAN
1.Untuk mengetahui bagaimana dinamika masyarakat Papua.
2.Untuk mengetahui apa penyebab konflik sosial di Papua.


2




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENYEBAB KONFLIK SOSIAL PAPUA
Menurut tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi sumber konflik Papua ke dalam empat isu Utama:
Pertama, sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik papua di dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya  hasil penentuan tersebut  oleh majelis umum sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969  itu sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada insiden 1 desmber 1961.
Kedua,problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem ini muncul  sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah  harga mati dan gagasan memisahkan diri  merupakan tindakan melawan  hukum yang di kemudian di identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan. Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai sosok yang berwajah sangar.
Ketiga, adalah problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di jadikan salah satu isu utama yang menjadi akar konflik di Papua  di karenahkan adanya ketimpangan yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang di lakukan terhadap kekayaan alam Papua  adalah beberapa hal yang menjadikan  pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di lakukan di erah sebelum  dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini di perparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli  dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
3

Terakhir, persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan dengan kegiatan separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru, orang  Papua tercatat beberapa kali menduduki jabatan gubernur.

2.2 SEJARAH KONFLIK PAPUA
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun. Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957.
Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
4

Bendera Papua’Barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua Merdeka Karena usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi, arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai 1961. Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak. Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan (”Hai Tanahkoe Papua”), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapi’pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta, yang isinya adalah:
1.    Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2.    Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3.    Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangs.
2.3SOLUSI KONFLIK PAPUA
Hingga saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hassanudin, melihat data tindakan kekerasan yang terjadi dalam 18 bulan terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota di wilayah Papua.Menurut Ben Mboi, mantan tentara yang pernah ikut upaya pembebasan Irian barat, pemerintah belum mengutamakan nation building. Selama ini pemerintah hanya mengembangkan state building yang hanya sebatas teritorial, bukan membangun manusianya. Maka dari itu, pengembangan state building erat kaitannya dengan motif ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif tersendiri, menjadi salah satu alasan utama konflik di Papua. Untuk itu, saya ingin menganalogikan konflik Papua dengan peristiwa Quiet Revolution di Kanada (1960-1966).
5

1.      Belajar dari Quebec
Quiet Revolution dikenal sebagai periode yang konfliktual sejarah Kanada, dimana periode ini menandai kebangkitan separatisme Quebec. Namun, salah satu hal menarik yang bisa dipelajari dari kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang konfliktual antara pemerintah federal dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya konstruksi nasionalisme Quebecois tersebutlah, konsep koeksistensi masyarakat keturunan Inggris dan masyarakat keturunan Perancis mendapatkan tempatnya di Kanada. Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di Quebec, PM Kanada kala itu, Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages Act yang secara resmi membuat Kanada menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya Official Language Act menunjukkan bahwa pemerintah Kanada tidak lagi mendiskriminasikan, mengabaikan, atau menutup mata terhadap keluhan warga Quebecois. Kondisi ekonomi pun semakin membaik karena perdagangan mulai berjalan seimbang dan adil. Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di dalam sebuah negara demokratis yang menolak penggunaan kekuatan militer sebagai jalan cepat penyelesaian konflik separatisme, negosiasi dan debat konstitusi merupakan jalan yang paling legal dan akomodatif. Dalam konteks separatisme di Quebec, pemerintah federal memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga Quebec untuk berdebat dan mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai bagian dari upaya mereka menentukan arah masa depan negara.
2.      Pendekatan Keamanan vs Kesejahteraan
Pemerintah Kanada percaya bahwa kebebasan berwacana tidak perlu dibatasi, dan bahwa tindakan inkonstitusional seperti separatisme seharusnya dikelola dan dibatasi oleh jaring konstitusi, melalui upaya-upaya negosiasi. Akan tetapi, pendekatan kekerasan dan stigma terhadap orang Papua yang diangggap bodoh dan separatis, yang dipraktekkan pemerintah kita, justru membuat warga merasa tak diterima. Pendekatan militeristiklah yang membuat orang Papua berpikir untuk merdeka, setidaknya itu ungkapan Ketua Sinode Kingmi Benny Giay.Penulis menganggap masalah yang timbul di Papua adalah akibat inkonsistensi pemerintah dalam pelaksanaan otonomi khusus. Kebijakan yang ada tidaklah mampu mengakomodasi kepentingan warga Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap mereka. Pemerintah federal Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut representasi warga keturunan Inggris, telah berhasil menjalankan kewajibannya untuk menjamin kesetaraan bagi warga keturunan Perancis, sedangkan, pemerintah kita cenderung mengutamakan pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan.
6

Fakta berbicara bahwa pemerintah pusat mengalokasikan sebesar 15 persen dari dana nasional untuk dana alokasi Papua. Ini pun belum termasuk dana tambahan yang jumlahnya ditetapkan DPR atas usulan dari  Gubernur. Ditambah dengan dana Otsus yang setiap lima tahun mencapai 30 triliun, harusnya pembangunan Papua sudah sangat terjamin. Dengan dana sebesar itu, kalau memang masih ada konflik berarti ada salah urus kebijakan di Papua, dan hal itu wajib diselidiki KPK, maupun pihak-pihak terkait.
Pijakan pembangunan yang terlalu berpihak kepada pendatang dan secara otomatis menyingkirkan eksistensi orang asli, harus dihilangkan. Semua kalangan harus mendapat akses ekonomi yang equal. Selain itu, kehadiran aparat memang penting, akan tetapi harus didampingi oleh orang-orang yang paham metode-metode penyelesaian konflik. Pembangunan yang dikawal dengan aparat yang represif berpotensi menimbulkan benih bertumbuhnya nasionalisme Papua. Dan kondisi seperti ini harus direduksir dari hulu.
Tidak ada salahnya kita belajar dari bagaimana pemerintah Kanada berhasil meredam separatisme di wilayah mereka. Walau memang, hasilnya belum mampu menekan secara total kelompok separatisme di Quebec, namun para pendukung gerakan ini semakin berkurang junlahnya di setiap pemilu. Oleh karena itu, manajemen konflik pemerintah kanada dalam menyelesaikan konflik ini seringkali dipandang dunia sebagai sebuah model demokrasi konsesional yang paling berhasil dalam kasus pengelolaan konflik interkultural dalam sebuah negara.
Terakhir, kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog tidak akan mengambil nyawa siapapun, malah akan bermuara pada kesejahteraan. Dialog hanya menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari kekacauan, kekerasan, ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan kekerasan dan ketidakadilan sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya mengatasnamakan bangsa dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan mengatasnamakan suku atau agama. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai Papua (JDP) berpendapat bahwa solusi konflik papua yaitu :



7




·         Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik Papua
Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik PapuaPada masa Orde Baru, pemerintah berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan keamanan dengan mengedepankan militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi, pemerintah mengutamakan pendekatan kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan Papua merdeka. Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001 melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan bahwa konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU Otsus secara efektif dan konsisten. Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14 kabupaten baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini memicu perang suku di Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah. Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B). Untuk melaksanakan Perpres ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014. Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan dan peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di kedua provinsi ini. Seraya mengakui dampak positif yang dialami orang Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam konflik Papua. Terbukti konflik Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan bertambah.
8


Pertanyaan yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah mengedepankan pendekatan kesejahteraan, memberikan status otsus, mengucurkan dana triliunan rupiah, membagi Papua menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah kabupaten, dan mempercepat pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum berhasil menyelesaikan konflik Papua?
·         Solusi Komprehensif
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang komprehensif. Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi. Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan bidang ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua mengandung masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya sebagai orang Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan setiap Presiden Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada perbedaan penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua juga merupakan satu-satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, konflik Papua mempunyai dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan. Pemerintah tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain. Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Secara khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak berkonsultasi dengan kelompok OPM.
9


OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan perlawanan di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar negeri. Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang komprehensif. Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan secara bersama, serta diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelom





















10





BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bias dimengerti bahwa konflik social papua merupakan peristiwa yang sangat kompleks. Baik dimensi sejarah, penyebab, maupun solusi. Namun bukan berarti komplesiksisitas konflik social papua harus mengurungkan niat pemerintah untuk bersikap apatis terhadap konflik yang terjadi di Papua. Diatas telah dijelaskan pula bagaimana solusi terhadap konflik social papua, yang mana solusi-solusi yang ditawarkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengakhiri konflik papua sehingga masyarakat papua bisa merasakan perdamaian di tanahnya.


















11



DAFTAR PUSTAKA
ü  Ai Roudotul Munawaroh, dkk, Konflik Papua,http://www.slideshare.net/aiirmc/makalah-konflik-papua, diakses pada tanggal 23 Oktober 2014.
ü  Riset LIPI, Empat Akar Masalah Konflik Papua,http://www.pdii.lipi.go.id/read/2011/11/17/riset-lipi-empat-akar-masalah-konflik-papua.html, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.  
ü  Rimun Solowat, Latar Belakang Konflik Papua,http://sejarah.kompasiana.com/2013/07/07/latar-belakang-konflik-papua-574905.html, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.
ü  K. Yudha Wirakusuma, BIN Dalami “Permainan” Asing Dalam Konflik Papua,http://news.okezone.com/read/2012/07/02/337/657082/bin-dalami-permainan-asing-dalam-konflik-papua, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.
ü  Jerry Indrawan, Solusi Konflik Papua : Belajar Dari Kanada, http://politik.kompasiana.com/2012/10/31/solusi-konflik-papua-belajar-dari-kanada-505672.html, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.
ü  Jerry Indrawan, Solusi Konflik Papua : Belajar Dari Kanada, ...., diakses pada tanggal 24 Oktober 2014























12